Petaka Indonesia dalam Penentuan Awal Ramadhan dan Dua Hari Raya.


 

“Syi`ar Agama Dalam Satu Negeri Wajib Bersatu”

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb. Saya mau bertanya tentang penentuan awal bulan Kamariah di Ormas Al-Washliyah, apakah dalam penentuan awal bulan Kamariah, khususnya Ramadan, Syawal dan Zulhijjah Ormas Al-Washliyah mempunyai metode tersendiri? Terimakasih banyak. Dari M. Faishol Amin Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Email: faisholamin2301@gmail.com

Jawaban:

Perbedaan yang terjadi di Indonesia dalam menentukan awal Ramadhan dan dua Hari Raya (Ikhtilaf Almathali’) sudah berlangsung lama bisa dikatakan dari sejak sebelum merdeka sampai sekarang ini (tahun 2016). Para kekuatan umat yang dimotori oleh Ormas-ormas Islam yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan seprti Al Jam’iyatul Washliyah atau Al Washliyah (1926), NU (1926), Muhammadiyah (1911), Persis, Ittihadiyah, Mathla’ul Anwar, dll.

Jika kita melihat perkembangan dinegara-negara mayoritas Islam dari Timur Tengah bahkan sampai Asia, mereka memutuskan dalam menentukan awal Ramadhan dan dua Hari Raya (Ikhtilaf Almathali’) sama sekali tidak ada perbedaan. Pemrintah sebagai Ulil Amri begitu tegas dalam menyikapi perbedaan tersebut dan itu sudah berlangsung sampai sekarang.

Namun apa yang terjadi di negara kita sangat jauh dari harapan yang kita idam-idamkan. Perbedaan menentukan Ikhtilaf Almathali’ semangkin menjadi-jadi dan sudah sampai meresahkan di tengah-tengah masyarakat. Kenapa symbol, syi’ar agama bisa ada dua hari yang berbeda seperti lebaran berbeda atau awal Ramadhan yang berbeda. Keheranan tersebut tidak terjadi dikalangan ummat Islam saja, bahkan dikalangan non Islampun menjadi heran dan bingung. Belum lagi dampak yang ditimbulkan dari perbedaan diatas sangat mempengaruhi pshikologi sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan etika dalam beragama itu sendiri.

Malah sebahagian para pemimpin tersebut menganggap pebedaan syi’ar dan symbol agama (Itsbat Dua Hari Raya dan awal Ramadhan) disamakan dengan perbedaan apa yang terjadi didalam ‘Ibadah Furu’iyah yang biasa terjadi didalam Muqaranah Fikih Islami. Sehingga perbedaan syi’ar atau symbol ini mereka katakan sebagai perbedaan yang membawa Rahmat sebagaimana ibadah furu’iyah yang lainnya. Padahal ibadah furu’iyah tidak dapat dismakan dengan syi’ar agama, sebagaimana Allah Swt berfirman:

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ {الحج [٢٢] : ٣٢}

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (QS. Alhajj [22] : 32).

Ayat ini menerangkan bahwa Syi’ar diantaranya seperti Ramadhan dan Dua Hari Raya ditentukan dan disatukan dengan nilai-nilai Taqwa, maka ketaqwaan itu akan hilang dan tidak akan tercapat jika kesatuan dan persatuan itu tidak terwujudkan apalagi dianggap remeh.

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا {النسآء [٤] : ١١٥}

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa’ [4] : 115)

Ayat ke-115 surah Annisa’ ini, seluruh ulama Ahlussunnah Waljama’ah menjadikannya sebagai hujjah adanya “Ijma’” yaitu kesepakatan para ulama dalam menentukan perkara agama dalam mengambil kesimpulan hukum untuk kemaslahatan umat.
Rasulullah Saw bersabda:

قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” هذا عيدنا أهل الإسلام ”

“Hari ‘Id ini adalah, hari kebesaran umat Islam” (Al Hadis). Hadis ini menunjukkan hari kebesaran itu dirayakan bersama-sama, bukan berbeda.

Dari ayat Alqur’an dan Alhadis di atas menunjukkan bahwa Syi’ar atau symbol agama itu memiliki nilai-nilai ruhiyah yang tidak boleh terjadi pertentangan yang menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat dalam satu komunitas, dalam satu negeri atau dalam satu negara. Dan kesepakatan para ulama dan pemerintah untuk menentukan sebuah kemaslahatan umat yang lebih besar hukumnya wajib diutamakan.

Akan menjadi kerancuan jika hari kebesaran itu terjadi dua waktu yang berbeda didalam satu negeri atau negara. Sama artinya jika terjadi dua sholat jum’at dengan dua waktu yang berbeda di dalam satu negeri. Perbedaan syi’ar agama ini bukan membawa Rahmat malah membawa keresahan dan petaka yang berkepanjangan ditengah-tengah masyarakat muslim dan akan menjadi petaka fitnah dikalangan masyarakat non-Islam di Indonesia.

Di Indonesia dalam menetapkan Awal Ramadhan dan dua hari raya ada beberapa aliran dan beberapa golongan (Penetapan awal ramadhan dan 1 syawwal oleh pemerintah dan akibat hukumnya dalam pelaksanaan ibadah puasa- Tahun 2010 yang ditulis oleh: Drs. KH. Arso, MA, Ketua Lajnah Falakiyah Al Washliyah Se-Indonesia) disebutkan sebagai berikut:

  1. Golongan yang berpedoman kepada Ijtima’ Qablal Ghurub.
  2. Golongan yang berpedoman kepada Ijtima’ Qablal Fajri.
  3. Golongan yang berpedoman kepada Ijtima’ Qablal Fajri.
  4. Golongan yang berpedoman kepada posisi Hilal di atas Ufuq Hakiki.
  5. Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal di atas Ufuq Hissi.
  6. Golongan yang menganut kriteria Wujud Alhilal di atas Ufuq Mar’i.
  7. Golongan yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyat (Imkanurrukyah).

Hasil keputusan Dewan Fatwa Al Washliyah tentang penetapan Awal Ramadhan dan dua hari raya (Ikhtilaaf Almathali’) di Banda Aceh pada tanggal 30 Juli 2010/19 Sya’ban 1431H memfatwakan sebagai berikut:

  1. Secara ilmu penetapan awal Ramadhan dan dua hari raya didasarkan kepada rukyat bilfi’li dan boleh menggunakan bantuan Hisab.
  2. Secara peraktis pelaksanaan awal Ramadhan dan dua hari raya berdasarkan penetapan pemerintah.

Menurut Prof.DR.Thomas Djamaluddin (p, 26. Thomas Jamaluddin adalah Proffesor riset Astronomi Astrofisika Deputi Sains, Pengkajian dan Informasi kedirgantaraan diadalam bukunya yang berjudul ”Astronomi memberi solusi penyatuan ummat”- 2011), sistem Kalender yang mapan mensyaratkan tiga hal:

  1. Ada otoritas (penguasa) tunggal yang menetapkannya.
  2. Ada kriteria yang disepakati.
  3. Ada batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global).

Dengan demikian aspek rukyat maupun hisab mempunyai pijakan yang kuat, bukan sekedar rujukan dalil syar’i tetapi juga interpretasi oprasionalnya berdasarkan sains astronomi yang bisa diterima bersama. Dengan kriteria bersama itu hisab dan rukyat tidak didikhotomikan lagi, tetapi dianggap sebagai suatu yang saling melengkapi. Kriteria inipun harus dianggap sebagai kriteria dinamis yang harus dievaluasi secara berkala (misalnya setiap 10 tahun) untuk mengakomodasi perkembangan data pengamatan tersebut (p, 22 Thomas Jamaluddin).

Dasar mayoritas ormas-ormas Islam yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyat (Imkanurrukyah) , sebagaimana Hadis Rasulullah Saw :

عن أبي هريرة و غيره : صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري و مسلم) فهو يدل على أن إيجاب الصوم على كل مسلمين معلق بمطلق الرؤية ، و المطلق يجري على الإطلاقه ، فتكفي رؤية الجماعة أو الفرد المقبول الشهادة . (ص : ١٦٦١/ ج : ٣ / الفقه الإسلامى و أدلته لأستاذ الدكتور وهبه الزهيلي ، الطبعة : ٤- ١٩٩٧م/١٤١٨ه – دار الفكر المعاصر بيروت لبنان.)

Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihatnya (Hilal), dan berbukalah karena melihatnya (Hilal), jika tejadi awan mendung, maka kamu sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari” (HR. Bukhari dan Muslim) Para ulama memaknai Hadis ini, wajibnya bagi kaum Muslimin melakukan ibadah puasa ditentukan mutlak oleh “Rukyah”, maka rukyah Hilal dengan cara berjemaah (oleh Ulilamri/pemerintah) atau secara individu (oleh Ulilamri/pemerintah) dapat diterima kesaksiannya. (Alfiqhul Islami Wa-Adillatuhu oleh Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili)

Jika kita tetap mempertahankan pendapat mayoritas maka solusi penyatuan ini selamanya tidak akan tercapai. Kita harus siap bahwa metodologi yang bukan mayoritas seperti apa yang diyakini oleh ormas Islam Muhammadiyah yang menganut kriteria Wujud Alhilal di atas Ufuq Mar’I ini masih dapat diterima. Karena ini adalah hasil dari ijtihad lembaga Tarjih yang sudah mereka yakini dan dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat oleh para ulama dan para petingginya. Dengan demikian berarti metodologi dan konsep tersebut dapat juga dijadikan patokan hukum dalam memutuskan Ikhtilaf Almathali’. Sehingga dengan perbedaan yang selama ini terjadi akan dapat disatukan, jika kelompok-kelompok ormas yang berbeda ini memiliki niat dan tujuan yang sama untuk kemaslahatan ummat.

Solusi tepat untuk menghindari perbedaan pendapat yang berkepanjanagan antara ormas Islam Muhammadiyah dan mayoritas ormas Islam lainnya, maka harus dilakukan langkah-langkah, diantaranya sebagai berikut (Gagasan ini sudah ada sejah tahun 2011. Gagasan dan solusi ini sudah digulirkan, didialogkan dan sudah disetujui oleh petinggi Dewan Fatwa Al Washliyah: Periode 2010-2015),:

  1. Pemerintah (Kementrian Agama) mengumpulkan petinggi ormas-ormas Islam yang berkompeten. Diantaranya Ketum, Sekjen pengurus pusat dan Ketua dan sekretaris lembaga fatwa yang ada diormas tersebut. Karena mereka adalah yang memiliki kewenangan tertinggi atau hak perogeratif/kekuasaan untuk memutuskan ia atau tidaknya dari hasil keputusan ormas yang mereka pimpin. Tujuannya dari mengumpulkan para petinggi ormas tersebut adalah untuk mencari kesepakatan dari perbedaan yang selama ini tidak pernah terselesaikan. Karena jika hanya para ulama ahli falaq/astronomi dari setiap oramas saja yang dikumpulkan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Setiap ahli ilmu falaq/astronomi meyakini teori dan pendapatnya pasti akan merasa lebih benar dari yang lainnya. Dan para ulama ilmu falaq tersebut tidak memiliki kemampuan atau memutuskan dari kebijakan organisasi yang telah diputuskan. Yang akhirnya sikap seperti inilah, selamanya tidak akan pernah untuk mau bersatu.
  2. Perbedaan dapat disatukan dengan teori Usul Fikih yaitu menggunakan metodologi Taqnin (تقنين) yang disebut juga Tadwin Alqawanin (تدوين القوانين) yaitu mengkodufikasi perbedaan yang ada atau mengambil dua pendapat yang berbeda meskipun diantara pendapat yang berbeda tersebut argumentasinya disinyalir sangat lemah untuk dijadikan sebuah ketetapan hukum. Metodologi Taqnin ini bertujuan untuk kemaslahatan umat yang lebih besar lagi. Maka keputusan Taqnin dari dua pendapat yang berbeda tersebut dijadikan patokan hukum dan diputuskan atau dikeluarkan lembaga yang berkompeten tunggal seperti pemerintah (Kemenag) bersama MUI-Pusat saja. Seperti, pendapat golongan Muhammadiyah yang menganut kriteria Wujud Alhilal di atas Ufuq Mar’I dan mayoritas ormas-ormas Islam yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyat (Imkanurrukyah) dan Hisab. Maka kedua pendapat di atas boleh diambil atau dijadikan patokan hukum oleh pemerintah (Kemenag).
  3. Jika sudah disepakati kedua perbedaan tersebut yaitu golongan yang berpendapat Wujud Alhilal di atas Ufuq Mar’I dengan mayoritas ormas-ormas Islam yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyat (Imkanurrukyah) dan Hisab. Maka kedua metodologi ini dapat diterapkan  dengan cara sebagai berikut:
    1. Ormas Islam Muhammadiyah yang memakai metodologi Wujud Alhilal di atas Ufuq Mar’I maka dapat dipakai oleh pemerintah untuk menetapkan lebaran ‘Idul Adha (hari raya Qurban) secara nasional.
    2. Sedangkan metodologi posisi hilal yang mungkin dapat di rukyat (Imkanurrukyah) dan Hisab yang dipakai oleh mayoritas ormas Islam digunakan oleh pemerintah untuk menetapkan awal Ramadhan dan 1 Syawwal secara nasional.
    3. Apabila kedua metodologi di atas dapat diterima dan disepakati, maka tidak boleh lagi di keluarkan, diputuskan, ditetapkan, atau difatwakan mengatasnamakan ormas Islam manapun melaikan harus dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas tunggal yaitu pemerintah (Kementrian Agama Republik Indonesia).bersama MUI-Pusat.
    4. Pada poin (3.1) dan poin (3.2) diatas diambil keputusan atas kesepakatan Kemenag, Muhammadiyah dan mayoritas ormas Islam. Dan masih dapat dipertimbangkan kembali jika terjadi kebuntuan yang krusial. Namun tetap kedua pendapat di atas harus memiliki niat yang sama untuk ingin bersatu untuk kemaslahatan ummat. Setelah diakomodir kedua pendapat tersebut maka dijadikanlah sebagai patokan hukum yang dikeluarkan oleh otoritas Pemerintah (Kemenag) bersama MUI-Pusat saja. Maka pendapat Muhammadiyah dan mayoritas ormas Islam boleh dipergunakan dua-duanya sekaligus sebagaimana pada poin (a) dan poin (b) oleh pemerintah untuk menetapkan awal Ramadhan dan dua ‘Id, namun ormas Islam manapun sudah tidak boleh lagi mengeluarkan fatwa tentang Ikhtilaf Almathali’ atau Itsbat Ramadan dan dua Hari Raya.

Dasar pedoman metodologi Taqnin yang diterangkan sebagaimana di atas dalam menentukah Ikhtilaf Almathali’, maka para ulama menerangkan sebagai berikut :

إختيار أيسر في التقنين : لا مانع شرعا من إختيار الحاكم ولي الأمر أيسر الأقوال في المذاهب الشرعية المختلفة، إذ إن ذلك ليس من قبيل التلفيق الممنوع ، لأن الأحكام المختارة من المذاهب هي أحكام كلية لأمور متاغايرة مقصود، لا تجمع بينها رابطة، كما بينا. وإذا حدث فيها تلفيق أثناء التطبيق الفعلي فهو غير مقصود، فلا حرج فيه،………( ص : ١١٥-١١٦/ ج : ١/ الفقه الإسلامى و أدلته لأستاذ الدكتور وهبه الزهيلي ، الطبعة : ٤- ١٩٩٧م/١٤١٨ه – دار الفكر المعاصر بيروت لبنان.)

والقول بجواز التلفيق في الجملة أقوى دليلا من القول بمنعه ، فضلا عما فيه من تحقيق مصالح الأفراد و الجماعات، ولا يترتب عليه أي مفسدة من مفاسد المحظور. ولو إفترضنا أن التلفيق كله غير جائز فأن تخير الحاكم لرأي و جعله قانونا نافذا : يقوي الحكم ولو كان قولا ضعيفا، كما قرر العلماء، بل ويجب الطاعة إذا لم يكن أمرا بمعصية متيقنة شرعا . ،………( ص : ١١٥-١١٦/ ج : ١/ الفقه الإسلامى و أدلته لأستاذ الدكتور وهبه الزهيلي ، الطبعة : ٤- ١٩٩٧م/١٤١٨ه – دار الفكر المعاصر بيروت لبنان.)

KESIMPULAN

Apabila kekuatan kelompok besar di atas sudah dapat disatukan maka pemerintah setiap memutuskan awal Ramadahan dan Dua Hari Raya (‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri) harus memutuskan dengan tegas kepada kelompok-kelomkpok lain yang masih ingin berbeda. Siapapun kelompok lain yang berani mengeluarkan mengumumkan Isbat Falakiyah (Ikhtilaf Almathali’) yang berbeda dari pemerintah harus diberi sangsi dan ditindak tegas dan boleh dikatagorikan sebagai Bughat (tindakan makar).

Dasar Penetapan dan solusi di atas menurut Hadis, Qiyas, Akal, dan Kaidah Fikih:

(١). حديث كريب : أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام ، فقال : فقدمت الشام ، فقضيت حاجتها ، و استهل علي رمضان و أنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر ، فسألني عبد الله بن عباس ، ثم ذكر الهلال ، فقال : متى رأيتم الهلال؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة ، فقال : أنت رأيته؟ فقلت : نعم ، ورآه الناس وصامو ، و صام معوية، فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت ، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه، فقلت : ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال : لا ، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم (رواه الجماعة إلا البخاري و إبن ماجة) – فدل على أن إبن عباس لم يأخذ برؤية أهل الشام، وأنه لا يلزم أهل البلد العمل برؤية أهل بلد آخر .
(٢)- حديث أبن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إنما الشهر تسع و عشرون ، فلا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه ، فأن غم عليكم فاقدروله (رواه مسلم و أحمد) وهو يدل على أن وجب الصوم منوط بالرؤية كل واحد ، بل رؤية البعض .
(٣)- القياس : قاسوا إختلاف مطالع القمر على إختلاف مطالع الشمس المنوط به إختلاف مواقت الصلاة .
(٤)- المعقول : أناط الشرع إيجاب الصوم بولادة شهر رمضان، و بدء الشهر يختلف بإختلاف البلاد و تباعدها، مما يقتضي إختلاف حكم بدء الصوم تبعا لإختلاف البلدان . (ص : ١٦٦٠- ١٦٦٢/ج : ٣/ أدلة الشافعية : إستدلوا على إعتبار إختلاف المطالع بالسنة و القياس و المعقول / الفقه الإسلامى و أدلته لأستاذ الدكتور وهبه الزهيلي ، الطبعة : ٤- ١٩٩٧م/١٤١٨ه – دار الفكر المعاصر بيروت لبنان.)
هذا مع العلم بأن إختلاف المطالع نفسه لا نزاع فيه ، فهو أمر واقع بين البلاد البعيدة كإختلاف مطالع الشمس ، ولا خلاف في أن للإمام الأمر بالصوم بما ثبت لديه ؛ لأن حكم الحاكم يرفع الخلاف ، وأجمعوا أنه لا يرعى ذلك في البلدان النائية جدا كلأندلس و الحجاز، و أندونيسيا و المغرب العربي (ص : ١٦٥٨ / ج : ٣ / الفقه الإسلامى و أدلته لأستاذ الدكتور وهبه الزهيلي ، الطبعة : ٤- ١٩٩٧م/١٤١٨ه – دار الفكر المعاصر بيروت لبنان. )

Kaidah Fikih menyebutkan :
(١) إذا تعارضت المصالح بدئ بأهمها
“Apabila tejadi petentangan terhadap kemaslahatan, didahulakanlah kemaslahatan yang lebih besar/penting”
(٢) إذا كان في المسألة قولان مصححان جاز الإفتاء و القضاء بأحدهما .
“Jika terjadi dalam sebuah masalah ada dua pendapat yang sama-sama benar, (maka) diperbolehkan diputuskan salah satu dari kedua pendapat tersebut oleh lembaga Fatwa atau Hakim (Qadhi)”
(٣) الأحكام تتبع المصالح .
“Seluruh ketetapan hukum-hukum (pada dasarnya) mengikut (berpedoman) terhadap kemaslahatan”
(٤) إعتبار المصالح و درء المفاسد .
“Mengutamakan kemaslahatan (pesatuan) dan menjauhkan kerusakan (perpecahan)”

Wallahua’lam bisshawab

KH. Ovied.R
Imam Mursyid Majelis Turos Islam (MTI), Anggota Dewan Fatwa Periode 2021 s.d 2026, Wakil Ketua Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020. Sekretaris Majelis Masyaikh Dewan Fatwa Al Washliyah Periode 2015-2020, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah {di Malaysia}. Tulisan ini telah di keluarkan oleh Media online: www.kabarwashliyah.com , pada, Kamis, 16 Juni 2016