Hukum Menunda Shalat Berjemaah Karena Taklim.


BANYAK kita alami di masyarakat kita terjadinya benturan waktu antara Ta’lim atau acara dengan jatuhnya waktu shalat wajib. Azan sudah dikumandangkan sementara sebagian orang bahkan dikalangan para intelektual dan ulama sering kita jumpai menunda waktu berjamaah.

Ketika azan dikumandangkan mereka berhenti sejenak menunggu  azan selesai, lalu kegiatan dilanjutkan kembali beberapa menit atau beberapa jam ke depan, setelah itu mereka baru melakukan shalat berjamaah.

Banyak kita jumpai dan dengar sebagian para da’i atau penceramah di media massa/TV/online/Radio, dll, dengan suara lantang mengeluarkan pernyataan sangat tendensius, yang intinya mereka mengatakan diantaranya sebagai berikut: “Percuma lembaga ulama ketika azan sudah dikumandangkan tidak segera menghentikan acara/Ta’lim malah meneruskannya, apa artinya mereka itu ulama yang paham hukum Islam, mereka tak ubahnya seperti orang yang munafiq tidak mengutamakan Shalat berjamaah tepat pada waktunya”, dll.

Mereka beranggapan menunda shalat berjamaah seolah-olah menganggap acara tersebut lebih baik dari panggilan Allah, karena panggilan Allah sang maha pencipta alam jagat raya ini harus lebih diutamakan dari segala perkara urusan dunia. Pernyataan di atas jika dilihat secara harfiyah atau diluar kaidah syar’I yang berlaku, maka kita akan serta merta sepakat dan malah

Pada dasarnya menunda berjamaah karena Ta’lim atau acara, jumhur ulama sepakat membolehkannya terutama Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i. Perlu dipahami bahwa menunda berjamaah bukan berarti tidak berjamaah (meninggalkan shalat berjamaah). Menunda berjamaah bukan berarti melambat-lambatkan waktu shalat fardhu sampai waktunya habis.

Jika sengaja menunda shalat berjamaah ataupun tidak berjamaah (shalat sendirian) tanpa ada uzur sampai waktu shalat habis sehingga masuk waktu shalat Fardhu berikutnya, maka Ijma’ ulama hukumnya adalah “Haram”, dan shalat yang ditinggalkan tersebut menurut jumhur ulama tetap wajib dilakukan atau di Qadha (menurut Madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal, Alfiqhul Islami Wa-Adillatuhu, Prof.Dr. Wahbah

Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah orang yang sengaja meninggalkan shalat Fardhu tidak perlu di Qadha, dia sudah termasuk orang yang fasiq dan berdosa karena sengaja meninggalkannya. Jika ia ingin tobat cukup hanya memperbanyak istighfar, dan amalan shalat sunat saja, tidak perlu mengqadhanya.

Di dalam artikel ini akan kita terangkan persoalan di atas tentang ” Hukum Menunda Shalat Berjamaah Sebab Ta’lim Atau Acara ” dengan bahasan beberapa poin diantaranya:

1.Hukum Shalat Berjemaah
Menurut Madzhab Imam Hanafi dan Imam Malik hukum shalat fardhu berjamaah selain shalat Jum’at adalah “Sunnah Muakkad” bagi laki-laki, yang berakal, ada kemampuan yang tidak terhalang karena udzur. Mereka berlandaskan Hadis Nabi Muhammad Saw,

صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بخمس و عشرين درجة , أو بسبع وعشرين درجة (الحديث , ص : 1168 / ج : 2 الفقه الإسلامي وأدلته للوهبة الزهيلي)

“Shalat berjamaah lebih baik dari shalat sendirian dengan dua puluh lima derajat atau dua puluh tujuh derajat”(Alhadis).
Hadis di atas menurut Madzhab Hanafi dan Madzhab Imam Malik menunjukkan hukumnya “Mandub; sunnah” melakukan shalat berjamaah.

Sedangkan menurut Madzhab Imam Syafi’I dalam Qaul Ashahnya hukum shalat fardhu berjamaah bagi laki-laki yang merdeka, yang menetap adalah “Fardhu Kifayah” artinya jika ada orang lain yang telah mendirikan shalat berjamaah maka terlepaslah kewajiban yang lainnya. Karena shalat berjamaah ini adalah dipandang sebagai syi’ar yang harus ditegakkan di tengah-tengah umat Islam dan melihat betapa pentingnya manfaat berjamaah (Mughni Almuhtaj, Almuhadzab, Almajmu’, dll). Pendapat ini berlandaskan dalil Hadis Rasulullah Saw,

…… فعليك بالجماعة فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية (رواه أبو داود و النسائي و صححه إبن حبان و الحاكم)

“………., maka kamu tegakkanlah jamaah, karena hanyasannya serigala itu memakan seekor domba yang menjauh (terpisah yang keluar dari gerombolannya)” (HR. Abu Dawud, Annasa’I, dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban dan Alhakim)
Namun  sebagian golongan madzhab Imam Syafi’I berpendapat hukum shalat berjamaah adalah “Sunnah Muakkad” lihat kitab Attanbih oleh Imam Assairazi Fairuz Alabadi.

Sedangkan hukum shalat berjamaah menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah  “Wujub Al’ain” yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu. Jadi setiap orang diwajibkan untuk melakukan shalat berjamaah, dan haram hukumnya jika meninggalkan berjamaah tanpa sebab udzur syar’i. Mazhab ini berlandaskan dalil Alqur’an dan Hadis, diantaranya sebagai berikut,

وركعوا مع الراكعين (البقرة [2] : 43)

“Ruku’lah kamu bersama orang-orang yang ruku’” (QS. Albaqarah [2] : 43). Kalimat Amar (perintah) di dalam ayat ini menunjukkan kepada siapa saja bukan sebagian orang atau kelompok.Begitu juga Hadis Rasulullah Saw yang menyatakan,

وحديث أبي هريرة : أثقل صلاة على المنافقين : صلاة العشاء و صلاة الفجر …

“Shalat yang paling berat yang dilakukan oleh orang munafik adalah: shalat ‘Isya dan shalat Fajar (subuh)” (Alhadis bersumber dari Abu Hurairah) .

Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya shalat berjamaah secara individu, namun kewajiban secara tersebut jika terjamin keamanan tidak ada bencana yang menyebabkan ketakutan, dlsb. Namun Madzhab Ahmad bin Hanbal ini juga menyatakan bahwa shalat berjamaah bukanlah sebagai syarat sahnya shalat.

2.Syari’at Berjamaah

Menurut Ijma’ para sahabat dan ulama disyari’atkannya berjamah terjadi setelah hijrahnya baginda Rasulullah Saw. Aljama’ah (berjamaah) yaitu hasil yang diperoleh adanya hubungan antara shalat Imam (orang yang diikuti) dan Makmum (orang yang mengikuti). Islam mensyari’atkan berjamaah baik secara sosial maupun didalam beribadah. Ibadah yang dianjurkan untuk berjamaah diantaranya shalat fardhu lima waktu dalam sehari semalam, shalat fardhu Jum’at, shalat dua hari raya, shalat sunnah gerhana bulan, matahari, wuquf di’arafah, dll. Sebagaimana Allah Swt berfirman tentang pentingnya berjamaah,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ ……..(النساء [4] : 102)

” Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka ” (QS. Annisa’ [4] : 102). Begitu juga Rasulullah Saw bersabda tentang keutamaan shalat berjamaah,

قوله النبي صلى الله عليه وسلم : صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ , بسبع وعشرين درجة (رواه الجماعة إلا النسائي و أبا داود عن إبن عمر) وفي رواية : بخمس وعشرين درجة (رواية أبو هريرة ورواه البخاري عن أبي سعيد الخدري و أحمد عن إبن مسعود)

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat” (HR. Jama’ah kecuali Anasa’I, dan Abu Dawud). Riwayat lain menyebutkan : “(keutamaan shalat berjamaah) dengan dua puluh lima derajat (lebih baik dari shalat sendirian)” (HR. Abu Hurairah, Bukhari dari Sa’id Alkhdri, Ahmad dari Ibnu Mas’ud)

3.Menunda Shalat Berjamaah Sebab Ta’lim Atau Acara

Menunda shalat berjamaah karena sebab ta’lim atau acara menurut jumhur ulama diperbolehkan dengan syarat tidak luput dari waktu shalat fardhu yang telah ditetapkan. Terkecuali shalat fardhu Magrib waktunya tidak boleh ditunda tanpa ada udzur syar’i, karena waktu Magrib hanya terbatas sekali berbeda dengan shalat subuh, dzuhur, ‘Asyar, dan shalat ‘Isya. Allah Swt menerangkan hakikat makna dari waktu-waktu shalat diantara,

إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النساء [4] : 103)

“… Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. ” (QS. Annisa’ [4] : 103).
Kalimat Kitaban Mauquta (كتابا موقوتا ; shalat fardhu yang ditentukan waktunya) menurut ahli ushul adalah dari sejak awal jatuhnya waktu shalat fardhu sampai kepada akhir dari batas waktu shalat fardhu tersebut.

Sebagaimana ulama ushul menjabarkan tentang waktu kewajiban dalam pelaksanaan shalat fardhu apakah wajib segera atau kewajiban tersebut memiliki waktu yang luas. Sebagaimana kaidah dibawah ini,

“أن الأمر هل يقتضي الفعل على الفور أم لا ” (ص : 15-16 , اللمع في أصول الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي الشافعي , المتوفى 476هـ)

“Apakah perintah (jatuhnya kewajiban waktu/zaman shalat fardhu) itu segera ditunaikan atau tidak”.

Dalam melaksanakan shalat fardhu baik berjamaah ataupun sendirian dari segi waktu dapat digolongkan kepada beberapa waktu yang sunnah, makruh dan waktu yang haram. Sebagai contoh, jika shalat zuhur di Jakarta jatuh waktunya jam 12,00 dan habis waktunya jam 03.00. Maka jatuh hukum sunnah muakkad atau wajib ‘ainnya antara jam 12 s.d jam 2.30. antara jam 2.30 s.d jam 2.45 jatuh hukumnya makruh. Jika melaksanakannya pada pukul 2.45 sampai jam 03.00 atau sudah masuk waktu shalat fardhu ‘Asyar maka hukumnya adalah “Haram”.

Namun shalat yang luput tersebut tetap wajib dilaksanakan. Inilah yang dikatakan (wujub Almuwassa’; kewajiban yang waktunya luas) artinya kewajiban atau sunnah muakkad itu terhitung dari awal waktu azan sebagai tanda jatuhnya kewajiban shalat fardhu sampai kepada berakhirnya waktu yang dimakruhkan atau  waktu yang diharamkan. Ini juga yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah yang menyebutkan di dalam kitab Mughni Assyarhul Kabir bahwa waktu-waktu shalat itu dibagi kepada waktu Fadhilah, waktu Jawaj, dan waktu Dharurah (lihat halaman 522 Juz pertama cetakan Dar Alhadis Cairo Mesir)

Begitulah dengan waktu shalat fardhu lainnya terkecuali shalat Maghrib waktunya sangat terbatas, sepakat jumhur ulama tidak boleh menundanya, jika ditunda tanpa udzur syar’i hukumya makruh dan bisa jatuh Haram jika luput sampai masuk kepada waktu salat fardhu ‘Isya. Jumhur ulama yang memaknai tentang Alwaqtu Muwassa’ (waktu keluasan dalam melakukan shalat baik sendirian atau berjamaah) sebagaimana kaidah di bawah ini yang menyebutkan,

“… وجوب الفعل  في أول الوقت وجوبا موسعا ..”  (ص : 15-16 , اللمع في أصول الفقه للإمام أبي إسحاق إبراهيم بن علي يوسف السيرازي الفيروز آبادي الشافعي , المتوفى 476هـ)

“Kewajiban melakukan (perintah) diawal waktu (shalat) itu adalah kewajiban yang memiliki tenggang waktu yang luas”. Artinya masa antara waktu shalat fardhu yang satu kepada fardhu yang lainnya adalah diperbolehkan didalamnya melakukan shalat baik berjamaah ataupun sendirian. Namun kaidah ini bukan berarti untuk meringan-ringankan atau untuk menunda-nunda waktu shalat. Dari kaidah ini diperbolehkannya jika kita berada dalam kondisi sedang mengikuti/memimpin majelis Ta’lim/acara yang belum selesai, maka diperbolehkan untuk menunda shalat berjamaah.

Menunda bukan berarti meninggalkan berjamaah. Menunda bukan berarti luput sampai kepada waktu fardhu berikutnya. Penundaan ini bukan termasuk udzur syar’I, penundaan ini adalah penundaan yang bersifat mubah/boleh artinya kita boleh mengambil atau menggunakan dari jarak waktu-waktu shalat fardhu yang telah ditentukan batasan-batasannya tersebut.

Pembahasan tentang waktu muwassa’ (waktu yang luas) dan alwaqat Mudhayya’ (waktu yang sempit) dalam melaksanakan shalat fardhu berjamaah atau sendirian dapat dilihat secara luas didalam kitab : Alluma’ Fi Ushulil Fiqh oleh Imam Assairazi, Alminhaj Ma’a Syarah Alisnawi wa Albadakhsyi, Syarah Albadakhsyi, Syarah Aljalal ‘Ala Jam’in Aljawami’, Almughni As-Syarhulkabir Ibu Qudamah, dll. Ulama-ulama besar Al Washliyah seperti Syekh Mahmud Syihabuddin, Syekh Arifin Isya Alazhari (1914-1999M), Syekh Hamdan Abbas, KH. Thalib Alrawi, KH.Syahrin Pohan, maupun ulama Al Washliyah lainnya sudah puluhan tahun mengajar kitab-kitab dan pemahaman tersebut di atas terutama di Madrasah Alqismul’ali Al Washliyah Medan Sumatera Utara.

Sedangkan waktu untuk shalat ‘Isya ada keutamaan tersendiri diantara shalat lima waktu lainnya. Shalat ‘Isya jika diakhirkan waktunya dapat membawa kebaikan seperti jemaah yang banyak, atau dapat melakukan qiyamullail maka waktu shalat ‘Isya itu lebih utama (mustahabbah/sunnah) di akhirkan ketimbang di awal waktu. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda,

وقول النبي صلى الله عليه وسلم : لولا أن أشق  على أمتي لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه (أخرجه أبو داود و الترمذي و النسائي و أحمد و الحاكم وذكره الباني ف صحيح الجامع) .

Rasulullah Saw bersabda: “Jikakalaulah tidak memberatkan kepada umatku akan aku perintahkan mereka mengakhirkan shalat ‘Isya sampai kepada sepertiga malam atau seperdua malam ”  (HR. Abu Dawud, Atturmudzi, Annasa’I, Ahmad, Alhakim dan di shahihkan oleh Albani). Keterangan Hadis ini dapat dilihat di dalam kitab Syarhulkabir Mughni Almuhtaj oleh Ibnu Qudamah (hal 530 – 531 Juz 1)

Hadis di atas menunjukkan sunnah hukumnya mengakhirkan waktu shalat ‘Isya jika membawa kemaslahatan atau ingin mencari fadhilah dari qiyamullail. Namun jika dikhawatirkan shalat ‘Isyanya kelewatan, maka shalat ‘Isya di awal waktu itu tetap lebih baik.

Kesimpulan
Shalat diawal waktu itu adalah lebih baik agar kita tidak mudah lalai atau terjerumus dari sifat kemalasan yang menyebabkan menjadi orang yang pemalas. Namun jangan sampai kewajiban shalat dan waktu-waktu maupun batasan-batasannya yang telah ditentukan oleh syar’i baik dari segi kemudahan dan keutamaannya jangan sampai menyebabkan kita terjebak kepada pemikiran yang kaku dan saklek. Kita sering terjebak dengan pemahaman yang keras sehingga sifat Tasyaddud; keras tersebut justru malah memenjarakan diri kita sendiri. Allah dan Rasulnya sangat murka kepada umatnya yang begitu terlalu keras atau saklek dalam memahami dan menjalankan agamanya. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda,

قال النبي  صلى الله عليه وسلم : من شق على أمتي شق الله عليه (أخرجه مسلم)

“Nabi Saw bersabda: Barangsiapa yang memecah belah (memberatkan) umatku, Allah Swt akan memecah belahnya (memberatkannya di dunia dan di akhirat)” (HR. Muslim).

Wallahua’lam

KH Ovied

Imam Mursyid Majelis Turos Islam (MTI), Anggota Dewan Fatwa Periode 2021-2026, Wakil Ketua Dewan Fatwa 2015-2020, Sekretaris Dewan Fatwa Al Washliyah Se-Indonesia Priode 2010-2015, Guru Tafsir Alqur’an/Perbandingan  Madzhab Fikih Majelis Ta’lim Jakarta &  Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di  Malaysia]. Tulisanbini elah dikeluarkan oleh Media:www.kabarwashliyah.com, pada hari Jumat, 1 November 2013