اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ
Pak Kiyai…
Ada kelompok tertentu yang mengatakan:“ Tradisi memeriahkan Nishfu Syaban adalah BID
AH Mungkarat“ Apa benar Demikian
Wassalam
Dari, Ruslan Abdul Ghani
Medan Sumut
Kontroversial Amalan Nishfu Sya`ban
BULAN Sya’ban (شهر الشعبان) atau bulan yang ke delapan dari bulan Hijriyah. Bulan Sya’ban dan Ramadhan adalah diantara bulan yang dimuliakan dalam Islam selain bulan-bulan Haram (الأَشْـهُرالحُرم) yaitu Dzulqa’dah (bulan 11), Dzul Hijjah (bulan 12), Muharram (bulan 1) dan satu yang terpisah yaitu bulan Rajab (bulan 7). Pada bulan-bulan Haram ini juga sunnah hukumnya berpuasa menurut Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Syafi’I, terkecuali Imam Ahmad bin Hanbal memakruhkannya.
Adapun Amalan Nishfu Sya’ban (النصف الثاني من شعبان ; pertengahan bulan Sua’ban) seperti melakukan puasa pada siang harinya dan melakukan shalat pada malam harinya. Sebagian orang ada yang menentang dan menganggap Bid’ah Dhalalah (بدعة الضلالة ; amalan yang dibuat-buat dan sesat) tentang adanya anjuran puasa Nishfu Sya’ban, Shalat Nishfu Sya’ban, zikir, baca Yasin/Alqur’an atau amalan-amalan sunat lainnya pada malam harinya.
Ada perbedaan di kalangan para ahli Fikih tentang amalan-amalan di atas. Namun Mayoritas ulama Fikih membolehkannya. Di bawah ini akan diterangkan ada beberapa amalan yang menjadi kontroversial, namun para sahabat, ulama salaf dan khalaf, jumhur ulama Ahlussunnah (Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah) membolehkan dan menyukainya. Diantara amalan-amalan tersebut adalah:
Puasa Nishfu Sya’ban
Orang yang menentang adanya puasa Nishfu sya’ban berlandaskan Hadis sebagai berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” إذا إنتصف شعبان فلا تصوموا حتى يكون رمضان ” أخرجه أحمد و الترمذي وأبو داود و النسائي و إبن ماجة وإبن حبان و الحاكم .
“Rasulullah Saw bersabda: apabila sudah masuk pada pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah kamu berpuasa sampai menjelang bulan Ramadhan” (HR. Ahmad, At-Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Alhakim).
Pengertian Hadis di atas menurut Imam Syafi’I (150H-204 H) dan sebagian pengikut Madzhab Hanbali adalah tidak dianjurkan berpuasa setelah Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) bagi orang yang tidak biasa melakukan puasa sunat dalam sehari-harinya, namun jika seseorang yang biasa melakukan puasa sunat seperti puasa senin dan kamis, puasa putih (Ayyamulbidh) atau puasa sehari dan berbuka sehari (puasa Nabi Dawud) maka orang tersebut diperbolehkan melakukannya.
Sedangkan Jumhur ulama (mayoritas para ulama) menentang Hadis diatas dijadikan sebagai Hujjah atau dalil adanya larangan berpuasa pada Nishfu Sya’ban, dengan alasan sebagai berikut:
1.Hadis di atas adalah Hadis Dha’if (lemah). Martabat kelemahan Hadis tersebut didukung oleh Imam Ahmad, Ibnu Mu’in, Abu Zar’ah, Alatsram, Albaihaqi dan para ulama Hadis lainnya.
2.Menurut Ibnu Hajar Al’asqalani (wafat: 852H/1449M) : “Jikapun Hadis tersebut di atas adalah Shahih, namun larangan didalam
Hadis tersebut “Muhmal” yaitu tidak dapat dijadikan sebagai Hujjah dilarangnya berpuasa pada bulan sya’ban/Nishfu Sya’ban, karena masih mengandung intepretasi maksud yang berbeda-beda”. Jadi Hadis yang mengandung makna yang “Muhmal/Mujmal” tidak dapat dijadikan landasan sebagai Hujjah.
3.Imam Ibnu Qudamah di dalam kitabnya “As-Syarhul Al-Kabir Li-Ibnu Qudamah” membolehkan berpuasa pada bulan/Nishfu Sya’ban terkecuali jika pada hari Syak (hari yang diragukan) yaitu pada akhir Sya’ban menjelang masuknya bulan suci Ramadhan jika terjadi cuaca mendung yang menyebabkan ragu timbulnya Hilal Ramadhan, apakah awal Ramadhan sudah masuk atau belum. Maka para ulama memakruhkan melakukan puasa Sya’ban pada hari Syak saja.
Dan mayoritas para ulama menolak Hadis di atas dijadikan Hujjah sebagai larangan untuk berpuasa Nishfu Sya’ban karena banyak Hadis shahih yang lain yang mendukung bolehnya melakukan puasa sunnah pada bulan Sya’ban baik pada awal, pertengahan ataupun pada akhir bulan Sya’ban. Hadis-hadis yang yang membolehkan berpuasa pada bulan/Nishfu Sya’ban diantaranya sebagai berikut:
“عن عائشة رضى الله عنها قالت : ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إستكمل صيام شهر قط إلا رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان” رواه البخاري و مسلم .
“Dari ‘Aisyah Ra berkata: Tidaklah aku melihat Rasulullah Saw menyempurnakan puasa sebulan penuh melainkan pada bulan Ramadhan, dan tidaklah aku melihat beliau banyak melakukan puasa sunat yaitu pada bulan Sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis lain menyebutkan sebagai berikut:
“وفي رواية عن عائشة أيضا قالت : ولم أره صائما من شهر قط أكثر من صيامه من شعبان كان يصوم شعبان كله كان يصوم شعبان إلا قليلا” رواه البخاري و مسلم .
“Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ra beliau berkata: Aku tidak pernah meliahat Raulullah Saw banyak berpuasa (sunat) pada setiap bulannya melainkan pada bulan Sya’ban, beliau berpuasa pada bulan Sya’ban hampir seluruhnya, beliau jarang tidak berpuasa pada bulan sya’ban” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain yang mendukung bolehnya pusa Nishfu Sya’ban sebagai berikut :
“عن أسامة بن زيد قال : قلت : يا رسول الله لم أراك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان , قال : ذلك شهر يغفل عنه الناس بين رجب و رمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين , فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم” رواه أبو داود و النسائي و صححه إبن خزيمة
“Dari Usamah bin Zaid berkata, beliau berkata kepada Rasulullah Saw: Ya Rasulullah, tidaklah aku melihat bagaimana engkau berpuasa seperti bulan-bulan lainnya seperti bulan Sya’ban ini, Rasulullah Saw bersabda: Bulan antara Rajab dan Ramadhan (bulan Sya’ban) itu banyak dilupakan orang-orang, bahwasannya pada bulan Sya’ban itu Allah Swt mengangkat semua amal-amal sang hamba kesisi-Nya, maka aku sangat menyukai amalku diangkat, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I, dan diShahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Shalat Nishfu Sya’ban
Shalat Nishfu Sya’ban yang dilakukan setelah shalat Maghrib pada dasarnya tidak ada. Dan tidak ada Rasulullah, para shahabat, dan para ulama mengajarkan Shalat Nishfu Sya’ban. Namun para sahabat, dan para ulama shaleh melakukan shalat sunat dalam merayakan malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib dengan memperbanyak shalat sunat Awwabin (صلاة الأوابين) bukan shalat Nishfu Sya’ban.
Shalat sunat Awwabin inilah yang diasumsikan kebanyakan masyarakat sekarang sebagai shalat Nishfu Sya’ban. Jadi ini sangat keliru, maka niat shalat sunat pada malam Nisfu sya’ba yang dilakukan setelah shalat Maghrib bukan dengan niat shalat sunat nishfu Sya’ban melainkan shalat sunat Awwabin, sebagaimana Rasulullah Saw gemar melakukannya setelah shalat Maghrib. Jika dilakukan setelah shalat ‘Isya boleh melakukan shalat Tahajjud, witir atau shalat sunat yang ada dianjurkan dalam Syari’at.
Shalat Sunat Awwabin
Awwabin secara bahasa bermakna “Orang-orang yang kembali (kembali kepada Allah) atau betaubat”. Makna Awwabin di dalam Alqur’an. Allah Swt berfirman:
رَّبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِن تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلأَوَّابِينَ غَفُورًا {الإسراء [17] : 25}
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (QS. Alisra’ [17] : 25).
Shalat Awwabin dinamakan juga dengan “Shalat Ghaflah; lalai” dikatakan “Ghaflah; lalai” karena kebanyakan orang-orang mengisi waktunya setelah Maghrib disibukkan dengan urusan dunia seperti makan, minum, tidur, dll. Awwabin meskipun maknanya orang-orang yang bertaubat namun shalat ini tidak sama dengan shalat Taubat. Shalat Awwabin (Ghaflah) boleh dilakukan kapan saja dan dimana saja tidak mesti di Mesjid atau dibulan Sya’ban/Nishfu Sya’ban. Adapun Jumlah rakaat Shalat Awwabin (Shalat Ghaflah) sebanyak 20 rakaat, dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya. Sekurang-kurangnya boleh dilakukan 2 rakaat saja.
Keutamaan 2 rakaat shalat sunat Awwabin yang dikerjakan, fadhilahnya sama degnan 4 rakaat shalat sunat. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “من صلى ست ركعات بين المغرب و العشاء , كتب الله له عبادة اثنتي عشرة ركعة ” رواه الترمذي
“Barang siapa shalat sunat 6 rakaat antara Maghrib dan ‘Isya, Allah Swt mencatat baginya seperti melakukan Ibadah shalat sebanyak 12 rakaat” (HR. Imam At-Turmudzi)
Hadis lain menyebutkan tentang keutamaan shalat sunat Awwabin :
ولما روي عن عمار بن ياسر : “من صلى بعد المغرب ست ركعات , غفرت ذنوبه , وإن كانت مثل زبد البحر . رواه الطبراني , وروي إبن ماجة وإبن خزيمة و الترمذي (الفقه الإسلامي وأدلته للأستاذ الدكتور وهبة الزهيلي و كتاب الترغيب و الترهيب )
Diriwayatkan dari ‘amar bin Yasir “Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa shalat sunat setelah Maghrib 6 rakaat, diampunkan dosa-dosanya, meskipun dosanya sebanyak buih yang ada di lautan” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, At-Turmudzi).
Shalat sunat Awwabin ini boleh dilaukan sendiri-sendiri atau berjamaah, dirumah atau di Mesjid. Para ulama ada yang melakukannya sendiri-sendiri dirumah tetapi pada malam Nishfu Sya’ban mereka lebih menyukai melakukannya shalat sunat ini dengan berjama’ah bersama umatnya, lalu dilanjutkan dengan mebaca Alqur’an, zikir dan do’a-do’a sampai menjelang shalat ‘Isya dan dilanjutkan setelah shalat ‘Isya. Anjuran ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ikhlas, semata-mata karena Allah Swt dan ingin meperbanyak amalan sunat, bukan karena ritual-ritual yang keluar dari tuntunan syari’at.
Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas para ulama menjadikan malam Nishfu Sya’ban diantara malam yang memiliki keberkahan, sebagaimana Allah Swt berfirman,
” إِنَّآ أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ {3} فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ {4} ” (الدخان [44] : 3-4 )
“3. sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkah dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. 4. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,” (QS. Ad-Dukhan [44] : 3-4)
Ayat di atas menurut para ahli Tafsir dan menurut Imam As-Suyuthi (Jalaluddin Abdurrahman, 1445-1505) dan Imam Almahally (Jalaluddin Muhammad, wafat: 864H/1459M) yang dimaksud dengan ” فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ ; pada suatu malam yang diberkahi ” adalah malam Lailatul Qadar (malam Qadar Ramadhan) atau Malam Nishfu Sya’ban (malam ke-15 pada bulan Sya’ban) yang mana pada malam itu Allah turunkan Alqur’an dari langit yang ke-7 kelangit dunia. Sedangkan ayat yang ke-3 yang berbunyi ” فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ; Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,” ayat ini bermaksud yaitu pada “Lailatulqadar” atau “Malam Nishfu Sya’ban”, Allah Swt menentukan segala urusan-urusan dan segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti: hidup, mati, rezki, untung baik, untung buruk dan sebagainya. (lihat Tafisir Aljalalain).
Para sahabat seperti Imam Ali Karramalallah Wajhah, para ulama shaleh menyukai ketika malam Nishfu Sya’ban bepakaian yang bersih dan memakai wangi-wangian lalu membaca Alqur’an, zikir, dan do’a-do’a memohon kepada Allah Swt pada malam yang penuh berkah tersebut. Adapun keutamaan malam Nishfu Sya’ban tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Dar Al Quthni, Ibnu Syahin, Ibnu Majah dari Imam Ali Karramallahu Wajhah, beliau berkata, Rasulullah Saw bersabda:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصومو نهارها فإن الله ينزل فيها لغروبها الشمس إلى سماء الدنيا : فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ؟ ، ألا من مسترزق فأرزقه ؟ ، ألا من مبتلى فعافيه ؟ ، ألا كذا ؟! ألا كذا ؟! حتى يطلع الفجر .
“Apabila tiba malam Nishfu Sya’ban maka bangunlah pada malamnya (memperbanyak amal) dan berpuasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun (pada malam Nishfu Sa’ban) ketika waktu Magrib kelangit dunia, lalu berkata: Apakah tidak ada orang yang ingin meminta ampun kepadaKU (jika mereka memohon ampun) maka AKU akan mengampuni mereka, siapa yang memohon rizqi, AKU akan memberikan rizki kepadanya. Barang siapa yang memohon agar terhindar dari bala, maka aku akan berikan kesehatan kepada mereka, dan begitulah seterusnya (dari apa yang diinginkan oleh hamba Allah yang ingin berdo’a), sampai waktu fajar tiba.” (HR. Ibnu Majah).
Diriwayatkan oleh Nawaf Al Bakali, beliau berkata:
أن عليا رضى الله عنه خرج ليلة النصف من شعبان فأكثر الخروج فيها ينظر إلى السماء، فقال : إن داود عليه السلام خرج ذات ليلة في مثل هذه الساعة فنظر إلي السماء فقال : إن هذه الساعة ما دعا الله أحد إلا أجابه ، ولا أستغفره أحد في هذه اليلة إلا غفر له ، مالم يكن ساحرا أو شاعرا أو كاهنا أو عريفا أو شرطيا أو جابيا أو صاحب كوية عرطية .
“Sesungguhnya Imam Ali R.a Keluar dari rumahnya pada malam Nishfu Sya’ban , dan beliau sangat sering melakukan seperti itu sambil melihat ke langit, lalu beliau berkata: Nabi Daud A.s keluar pada malam Nisfu Sya’ban seperti waktu sekarang ini, maka beliaupun melihat kelangit. Lalu beliau berkata: Pada waktu sepeti ini, siapa saja memohon do’a kepada Allah, maka akan dikabulkan. Bila seseorang memohon keampunan, Allah akan ampuni dosa-dosanya.Do’a-do’anya akan terkabul selama ia bukan seorang penyair (penya’ir yang sesat), Dukun, Peramal,orang-orang yang dikeramatkan sebagai dukun,Jabiyan (orang-orang yang memelihara benda-benda keramat), orang pemain gendang dan alat musik.
Diriwayatkan oleh At Thabrani dari Mu’adz bin Jabal beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda:
يطلع الله على عباده ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن. و في رواية أو قاتل نفس .
“Allah Swt menurunkan malam Nishfu Sya’ban kepada hambanya bermaksud untuk mengampuni seluruh makhluknya, kecuali terhadap orang yang berbuat syirik atau orang yang selalu berbuat jahat. Dalam satu riwayat ada menyebutkan didalam hadis tersebut ada kalimat tambahan “orang-orang yang membunuh dirinya sendiri/ bunuh diri”. (HR. At-Thabrani)
Diriwayatkan oleh At Turmudzi di dalam (An Nawadir), At Thabrani, Ibnu Syahin dari Hadits Aisyah beliau berkata: Baginda Rasulullah bersabda:
هذه اليلة النصف من شعبان يغفر الله للمستغفرين ، ويرحم المسترحمين ، ويؤخر أهل الحقد على حقدهم.
“Pada malam Nisfu Sya’ban ini, Allah mengampuni bagi orang-orang yang memohon keampunan kepada-Nya. Akan dicintai-Nya bagi orang-orang yang mencintai-Nya. Dan akan dikemudiankan (diakhirkan) bagi orang-orang yang bersifat dengki yang tidak mau berubah dari sifat dengki yang mereka miliki.” (Hadits Shahih yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban didalam Shahihnya)
Hadis-hadis di atas dari segi martabat sanadnya, mayoritas Ahli Hadis dapat menerimanya.
Untuk lebih luas dapat dilihat dalam kitab “Lailah Min Sya’ban Fi Mizan Alinshaf Wal’ilmi” oleh Alustadz Al-Imam As-Said Muhammad Zaki Ibrahim Ra-id Al’Asyirah Almuhammadiyah beliau adalah ulama besar Al-Azhar As-Syarief, Ahli Hadis, Fikih, Sejarah, Tasawuf dan pemimpin Thariqah Shufi As-Syaziliyah Cairo Mesir. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh KH.Ovied.R (Mantan Penggagas/Pendiri dan Ketua Pengurus Cabang Istimewa [PCI] Al Washliyah Cairo Mesir 2002-2003) dengan judul “Amalan Nishfu Sya’ban Dalam Gugatan Dan Zikir Munajat Ulama Dan Wali-Wali Allah” – Kuala Lumpur Malaysia tahun 2005.
Dari Hadis di atas para sahabat, ulamah salafusshaleh, para ulama Tasawuf dan ulama muta-akhirin membolehkan dan menyukai melakukan amalan-amalan sunnah seperti membaca Alqur’an, berzikir, beristighfar, berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban. Keutamaan amalan-amalan tersebut dan keutamaan malam ini juga didukung oleh Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al Khatib yang diriwayatkan oleh Malik dari Aisyah beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
يَفْتَحِ اللهُ اْلخَيْرَ فِيْ أَرْبَعِ لَيَالٍ : لَيْلَةُ اْلأَضْحَى ، وَ اْلفِطْرَ ، وَ لَيْلَةُ نِصْفُ شَعْبَانَ يَنْسَخُ فِيْهَا اْلأَجَالُ وَ اْلأَرْزَاقَ ، وَ يُكْتَبُ اْلحَاجَّ ، وَفِيْ لَيْلَةِ عَرَفَةَ إِلىَ اْلأَذَانَ .
“Allah Swt membuka pintu kebaikan pada empat malam: yaitu pada malam ‘Idul Adh-ha, ‘Idul Fitri, malam Nisfu Sya’ban. Telah ditetapknnya pada malam-malam ini ketentuan-ketentuan rizki dan dituliskannya ketentuan bagi seorang hamba dapat menunaikan Ibadah Haji, dan pada malam Arafah sampai menjelang adzan”.
Diriwayatkan juga oleh Imam Ad Dailami dari Ibnu Janzawaih dari Abi Hurairah dari Rasulullah Saw bersabda:
تقطع الأجال من شعبان إلى شعبان حتى أن الرجل لينكح و يولد له ، وقد خرج إسمه في الموتى .
“Ditentukan ajal seseorang itu dari bulan Sya’ban ke Sya’ban berikutnya hingga seorang laki-laki menikah hingga terlahirkan di Dunia dan telah ditentukan namanya didalam ajal kematiannya”. (HR. Ad-Dailami).
Jika kita dapat menjadikan bulan, hari-hari, tempat dan waktu yang dimuliakan oleh Allah dan Rasulnya lalu mengisinya dengan amalan-amalan sunnat. Kesemua itu bertujuan untuk mendekat diri semata-mata karena Allah Swt penuh dengan keikhlasan dan menjauhkan atau mencampur adukkan dengan amalan-amalan syirik.
Dengan keutamaan amalan-amalan sunat tersebut agar kita dapat senantiasa dalam lindungan Allah Swt dan terhindar dari fitnah dunia dan akhirat, dijauhkan dari kemurkaan Allah Swt karena kebodohan dan ketidak tahuan kita. Semoga Allah ilhamkan hidayah kecerdasan kepada kita, dijauhkan kita dari keburukan yang datangnya dari diri kita sendiri seperti keburukan syahwat, pandangan mata yang membawa fitnah, pikiran akal dan hati, pendengaran, prilaku, gerak hati, kejahatan yang datangnya dari golongan Jin dan manusia. Harapan dari amalan-amalan itu juga agar kita terhindar dari mala petaka, bencana dan fitnah, juga semoga Allah muliakan kita, anak dan keturunan kita menjadi Imam (pemimpin) yang bertaqwa dan dapat berguna bagi Agama, masyarakat dan bangsanya. Semoga, Amin, Wallahua’lam Bis-Shawaab.
KH. Ovied.R adalah Imam Mursyid Majelis Turos Islam (MTI), Anggota Dewan Fatwa Al-Washliyah Periode: 2021-2026, Anggota Komisi Fatwa MUI-Pusat Periode: 2010 s.d 2015, Sekreraris Dewan Fatwa Al-Washliyah se-Indonesia Periode: 2010-2015, Guru Tafsir Alqur’an/Fikih Perbandingan Madzhab Majelis Ta’lim Jakarta & Direktur Lembaga Riset Arab dan Timur Tengah [di Malaysia].Facebook : Buya Ovied
Tulisan ini telah dikeluarkan oleh: http://www.kabarwashliyah.com, pada, Senin, 10 Juni 2013